Jamilah Kolocotronis Menemukan Kebenaran dalam Islam


Saat sedang mencari kesalahan dan ketidakkonsistenan dalam Alquran, dia justru terkesan dengan suratAl-An'am.

Jalan berliku harus dilalui Jamilah Kolocotronis sebelum menjadi seorang Muslimah. Ia mendapatkan hidayah dari Allah SWT dan mengikrarkan dua kalimat syahadat justru ketika sedang menempuh pendidikan demi mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pendeta. Berawal pada tahun 1976. Keinginannya begitu kuat untuk menjadi seorang pendeta. Saat itu, dia masih berkuliah di sebuah universitas negeri.

Jamilah lalu mendatangi seorang pastor di sebuah gereja Lutheran. Ia sampaikan apa yang menjadi harapannya, bahkan bersedia membantu apa saja di gereja. Sang pastor menyanggupi dan meminta Jamilah mewakilinya pada acara piknik untuk para mahasiswa baru dari negara lain.

Dalam acara ini, untuk pertama kalinya, Jamilah bertemu dengan seorang Muslim. Namanya Abdul Mun'im Jitmoud yang berasal dari Thailand. ''Ia punya senyum yang manis dan sangat sopan. Saat kami berbincang-bincang, ia sering kali menyebut kata Allah,'' kenang Muslimah yang memiliki nama lahir Linda Kay Kolocotronis ini.

Jamilah mengaku agak aneh saat mendengar Mun'im menyebut nama Tuhan. Karena, sejak kecil, ia diajarkan bahwa orang di luar agamanya bakal masuk neraka. Tak ayal, Jamilah merasa bahwa Mun'im adalah golongan orang yang akan masuk neraka meski Mun'im percaya pada Tuhan dan berperilaku baik.

Dia lantas bertekad untuk mengajak Mun'im mengikuti keyakinannya. Jamilah mengundang Mun'im ke gereja. Tapi, betapa malu hatinya ketika melihat Mun'im datang dengan membawa Alquran. Usai kebaktian, Jamilah dan Mun'im berbincang panjang tentang Islam dan Alquran.

Padahal, selama ini, setiap mendengar istilah 'Muslim', dia memahaminya dengan hal-hal yang negatif. Kala itu, sejak era tahun 1960-an, warga kulit putih di Amerika Serikat (AS) meyakini bahwa warga Muslim kulit hitam ingin menyingkirkan warga kulit putih.

Selama dua tahun, Jamilah tetap menjalin kontak dengan Mun'im (yang kini menjadi suaminya). Lewat aktivitasnya di sebuah klub internasional, Jamilah juga bertemu dengan beberapa Muslim lainnya.

Jamilah tetap berusaha melakukan kegiatan misionarisnya untuk membawa mereka beralih akidah. Dia masih memendam hasrat menjadi pendeta meski waktu itu, di era 70-an, gereja-gereja belum bisa menerima perempuan di sekolah seminari.

Waktu terus berjalan, kebijakan pun berubah. Setelah menyelesaikan studinya di Truman State University pada Mei 1978, sebuah seminari Lutheran yang berada di Chicago, School of Theology, bersedia menerimanya sebagai siswa.

Tapi, hanya satu semester Jamilah bersemangat belajar. Jamilah sangat kecewa dengan kenyataan bahwa di sekolah itu tidak lebih sebagai tempat untuk bersosialisasi di mana pesta-pesta digelar dan minum-minuman keras sudah menjadi hal yang biasa.

Jamilah akhirnya memutuskan pulang ke rumah. Ia ingin lebih meluangkan waktu untuk mencari kebenaran agama. Tak lama kemudian, Jamilah diterima bekerja sebagai sekretaris di daerah pinggiran St Louis, tak jauh dari rumahnya.

Mencari kesalahan Alquran

Hingga suatu hari, Jamilah masuk ke sebuah toko buku dan menemukan Alquran di sana. Jamilah tertarik untuk membelinya karena ia ingin mencari kelemahan dalam Alquran.

Jamilah berpikir, sebagai orang yang bergelar sarjana di bidang filsafat dan agama serta pernah mengenyam pendidikan di seminari, pastilah mudah baginya menemukan kelemahan-kelemahan Alquran. Dengan 'bekal' itu, ia berharap bisa meyakinkan teman-teman Muslimnya bahwa mereka salah.

Dia segera mencari-cari kesalahan serta ketidakkonsistenan ayat-ayat dalam Alquran. Tapi, hasilnya nihil.''Saya justru terkesan saat membaca surat al-An'am ayat 73. Untuk pertama kalinya, saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam,'' ujar perempuan kelahiran St Louis, Missouri, tahun 1956 ini.
Jamilah memutuskan kembali ke universitasnya dulu, mengambil gelar master di bidang filsafat dan agama. Di saat yang sama, selain mengunjungi kebaktian, Jamilah juga kerap datang ke masjid, terutama ketika shalat Jumat.

Walau hatinya mulai tersentuh cahaya Islam, Jamilah mengaku belum siap menjadi seorang Muslimah. Masih banyak ganjalan pertanyaan memenuhi kepalanya. Dan, Jamilah terus melanjutkan pencariannya tentang agama.

Selama kurun waktu dua tahun masa pencarian, selain mempelajari Islam, Jamilah juga mempelajari berbagai agama lainnya, termasuk Zoroaster, Hindu, Buddha, Baha'i, dan agama yang dianut oleh etnis Cina. ''Saya cuma ingin menemukan kebenaran,'' kata Jamilah.

Mengucap dua kalimat syahadat

Namun, Jamilah lebih merasakan kedekatan pada Islam. Satu pertanyaan yang masih mengganggu pikirannya, mengapa orang Islam harus berwudhu sebelum shalat?

Ia menganggap itu tidak logis karena manusia seharusnya bisa mengakses dirinya pada Tuhan kapan saja. Namun, pertanyaan yang mengganggu itu akhirnya terjawab dan Jamilah bisa menerima jawabannya.

Akhirnya, malam itu, Jamilah membulatkan tekad untuk menerima Islam sebagai agamanya. Ia pergi ke sebuah masjid kecil dekat universitas. Peristiwa terpenting dalam hidupnya ini terjadi pada musim panas 1980, bersamaan dengan tibanya bulan Ramadhan.

Tepat pada malam ke-19 di bulan Ramadhan, Jamilah mengucapkan dua kalimat syahadat yang disaksikan sejumlah pengunjung masjid. ''Butuh beberapa hari untuk beradaptasi, tapi saya sudah merasakan kedamaian. Saya melakukan pencarian begitu lama dan sekarang saya menemukan tempat yang damai,'' papar ibu dari enam orang putra ini.

Pada awalnya, setelah menjadi Muslimah, Jamilah menyembunyikan keislamannya dari teman-teman di kampus, bahkan keluarganya. Bercerita kepada keluarganya bahwa ia sudah menjadi seorang Muslim bukan persoalan gampang buat Jamilah.

Begitu pula ketika ingin mengenakan jilbab. Tapi, jalan berliku dan berat itu berhasil dilaluinya. Kini, Jamilah sudah berjilbab dan menjadi kepala sekolah di Salam School, Milwaukee. dia/berbagai sumber

Pendidik, Penulis, dan Ibu Enam Anak

Komunitas Muslim di Amerika Serikat mengenal Jamilah Kolocotronis sebagai seorang Muslimah dengan segudang aktivitas. Di tengah kesibukan mengurus enam putranya, Jamilah masih sempat mengajar paruh waktu.

Ia mengajar mata pelajaran ilmu-ilmu sosial di sebuah sekolah Islam sesuai dengan gelar master dan doktoral di bidang pendidikan ilmu sosial yang ia peroleh dari Ball State University.

Dalam memberikan materi pelajaran kepada para muridnya, Jamilah kerap menggunakan pendekatan secara Islam. Ketika peristiwa 11 September 2001 terjadi, Jamilah sedang mengajar dalam kelas. Sebagai seorang pendidik, ia pun memberikan penjelasan kepada murid-muridnya yang duduk di bangku sekolah menengah mengenai tragedi yang terjadi di New York.

Jamilah juga aktif dalam kegiatan menulis. Menjadi seorang penulis memang merupakan impiannya ketika ia memutuskan pensiun dari dunia pendidikan. Karena itu, ia selalu memanfaatkan waktu senggangnya untuk menulis.

Sejumlah novel sudah dia hasilkan, di antaranya Innocent People, Echoes, Rebounding, Turbulence, Ripples , dan  Silence . Novel pertamanya,  Innocent People , menceritakan kehidupan keluarga Muslim Amerika sesudah peristiwa 9/11. Seperti novel pertamanya, semua novel yang ditulis Jamilah bertemakan kehidupan Muslim Amerika dan tantangan-tantangan yang mereka hadapi.

Karya lain Jamilah yang sudah dipublikasikan adalah tulisan disertasi doktoralnya sebagai buku nonfiksi dengan judul  Jihad Islam . Karya ini mengulas prinsip-prinsip dan praktik jihad militer. Ia pun rajin menulis puisi dan sejumlah catatan kecil di blog pribadinya.

Di samping hobi menulis, Jamilah juga menyukai dunia  travelling . Ia pernah tinggal di enam negara berbeda dan sudah menjelajahi seluruh wilayah di Amerika Serikat.

Ia juga pernah mengunjungi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, terlebih karena suaminya berasal dari Thailand. Saat ini, Jamilah beserta keluarganya menetap di Lexington, Kentucky, Amerika Serikat.  dia/berbagai sumber

Sumber : www.republika.co.id

Ingrid Mattson, Mengenal Islam Melalui Seni


Nama Ingrid Mattson sempat menjadi topik pembicaraan hangat di berbagai media Barat ketika namanya masuk dalam daftar salah satu tokoh yang diundang pada inaugurasi Barack Obama setelah kandidat Presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat itu menang dalam pemilu.

Sebagaimana dilansir kantor berita Associated Press (AP), Mattson yang menjabat presiden Komunitas Islam Amerika Utara (ISNA) merupakan salah satu pemimpin agama yang akan berbicara pada acara doa yang digelar di Cathedral Nasional di Washington DC sehari setelah pelantikan Obama sebagai presiden AS ke-44. Undangan yang ditujukan kepada Mattson ini menuai kontroversi publik Amerika. Sebab, yang bersangkutan dicurigai jaksa federal terkait dengan jaringan teroris. Seperti diketahui, pada Juli 2007, jaksa federal di Dallas, mengajukan tuntutan kepada ISNA karena diduga memiliki jaringan dengan Hamas organisasi Islam di Palestina yang dikelompokkan Pemerintah AS sebagai organisasi teroris.

Namun, baik Mattson maupun organisasinya tidak pernah dihukum. Jaksa hanya menyatakan memiliki bukti-bukti dan kesaksian yang dapat menghubungkan kelompok tersebut ke Hamas dan jaringan radikal lainnya. Sebelumnya, Muslimah kelahiran Kanada tahun 1963 ini juga pernah membuat kejutan dengan melakukan pertemuan dengan pejabat tinggi Pentagon selama pemerintahan Bush. Dia juga hadir pada misa Konvensi Nasional Partai Demokrat di Denver saat Obama mencalonkan diri sebagai presiden. 

Pemerintah AS dan ISNA sebenarnya memiliki hubungan kerja sama yang baik. Kelompok tersebut memberikan latihan agama kepada Biro Penyelidik Federal (FBI). Karen Hughes, orang kepercayaan Bush, mengatakan bahwa Mattson sebagai pemimpin yang hebat dan panutan bagi banyak orang. Mattson adalah seorang profesor studi Islam di Hartford Seminary di Hartford, Connecticut.

Ia memperoleh gelar sarjana dalam bidang filsafat dari Universitas Waterloo, Ontario, pada 1987. Sementara gelar PhD pada studi Islam ia peroleh dari Universitas Chicago pada 1999. Penelitiannya mengenai Hukum Islam dan Masyarakat. Selama kuliah di Chicago, ia banyak terlibat pada kegiatan komunitas Muslim lokal.
Ia duduk dalam jajaran Direktur Universal School di Bridgeview dan anggota komite Interfaith Committee of the Council of Islamic Organizations of Greater Chicago. Mattson juga pernah menetap di Pakistan dan bekerja sebagai pekerja sosial bagi pengungsi wanita Afghanistan selama kurun waktu 1987-1988. Pada 1995, ia ditunjuk sebagai penasihat bagi delegasi Afghanistanuntuk PBB bagi Komisi yang membidangi Status Perempuan.

Saat bekerja di kamp pengungsi di Pakistaninilah ia bertemu dengan pria yang kini menjadi suaminya, Amer Aetak, seorang insinyur dari Mesir. Dari pernikahan mereka, pasangan ini dikaruniai seorang anak perempuan bernama Soumayya dan satu orang anak laki-laki bernama Ubayda.

Meski saat ini banyak berkecimpung dalam kegiatan keagamaan dan menjabat sebagai Presiden ISNA, sebuah organisasi berbasiskan komunitas Muslim terbesar di AS, namun Mattson kecil tumbuh dan besar dalam lingkungan Kristen di Kitchener, Ontario, Kanada. Ayahnya adalah seorang pengacara pidana, sementara ibunya bekerja di rumah membesarkan ketujuh anaknya.

Mattson berhenti pergi ke gereja pada usia 16 tahun dengan alasan tidak bisa lagi percaya dengan apa yang diajarkan oleh gereja. Saat menimba ilmu di Universitas Waterloo, ia mempelajari seni dan filsafat, yang dinilainya menekankan kebebasan seseorang untuk memilih.

''Setahun sebelum saya masuk Islam, saya banyak menghabiskan waktu saya mencari dan melihat hal-hal yang berhubungan dengan seni. Saat mengikuti pendidikan bidang filsafat dan seni rupa, saya duduk berjam-jam dalam ruang kelas yang gelap untuk melihat dan mendengarkan penjelasan profesor saya melalui infokus proyektor, beliau menjelaskan tentang kehebatan hasil karya Seni Barat,'' paparnya seperti dikutip dari situs whyislam.org.

Wajah Islam

Saat di Waterloo ini, ia sempat bekerja pada bagian Departemen Seni Rupa, yang salah satu tugasnya mempersiapkan slide dan katalog seni. Karenanya setiap kali masuk ke perpustakaan, menurut Mattson, ia selalu mengumpulkan buku-buku seni sejarah. Dan untuk mendapatkan bahan-bahan guna keperluan pembuatan katalog seni, ia terpaksa harus pergi ke museum yang ada di Toronto, Montreal, dan Chicago.

Bahkan, ia harus merelakan masa liburan musim seminya dihabiskan di dalam Museum Louvre yang berada di tengah Kota Paris. Saat berada di Paris inilah untuk kali pertama dalam hidupnya Mattson berjumpa dengan seorang Muslim. Ia menyebut momen tersebut sebagai 'the summer I met Muslims'.

''Saya selalu terkenang akan peristiwa ini,'' ungkapnya. Apa yang dicarinya selama ini, ungkap Mattson, hanya berkaitan dengan semua karya seni yang tergambar dalam bentuk visual. Peradaban Barat memang dikenal memiliki tradisi menggambarkan sesuatu dalam bentuk visual, termasuk penggambaran mengenai keberadaan Tuhan.

''Kita banyak membuat kesalahan dengan berpikir bahwa melihat berarti mengenali, dan semakin terekspose seseorang itu, maka semakin pentinglah orang tersebut.'' Namun, akhir dari pencariannya tentang seni telah membawa Mattson bertemu dengan dua orang seniman, laki-laki dan perempuan, yang tidak membuat patung dan lukisan sensual tentang Tuhan. ''Mereka telah mengenali Tuhan dengan cara yang berbeda, menghargai pemimpin, dan menghargai hasil kerja seorang wanita.''

Gambaran mengenai Islam yang ia dapatkan dari kedua orang teman barunya ini, membawa Mattson pada pengenalan wajah Islam yang semakin baik. Ia menyatakan, peradaban Islam tidak menganut sistem penggambaran sesuatu dalam bentuk visual di dalam mengingat dan Memuji Tuhan dan menghargai seorang Nabi.

''Allah adalah sesuatu yang tersembunyi. Tersembunyi dalam pantulan mata umat manusia. Tetapi, orang yang memiliki penglihatan dapat mengenali Tuhannya dengan melihat, mempelajari pengaruh dari kekuatan ciptaan-Nya.'' Selain penggambaran terhadap Tuhan, umat Islam juga melarang penggambaran terhadap semua Nabi Allah.

Umat Islam hanya menuliskan nama mereka dalam bentuk kaligrafi. Kata-kata, tulisan, dan ucapan serta akhlak mulia dalam kehidupan merupakan media utama bagi Muhammad di dalam menyebarkan pengaruhnya ke seluruh umatnya. Dari sinilah kemudian Mattson mulai tertarik untuk mempelajari keyakinan yang dianut oleh kedua temannya yang asal Senegalini.

Ia pun mulai menggali tentang ketuhanan dan kepribadian Muhammad melalui Alquran terjemahan. Setelah banyak mempelajari lebih jauh mengenai Islam dari Alquran, Mattson akhirnya menyadari dan yakin adanya Allah. ''Pilihan-pilihan Anda mencerminkan siapa diri Anda. Meski ada keterbatasan, tapi selalu tersedia kesempatan untuk memilih yang terbaik,'' katanya.

Yang membuatnya semakin tertarik dengan Islam adalah semua umat Muhammad tidak hanya mengikutinya dalam hal beribadah, tetapi juga di dalam semua aspek kehidupan, mulai dari kebersihan diri sampai pada cara bersikap terhadap anak-anak dan tetangga. Semua perbuatan, perkataan, dan perilaku Nabi SAW inilah yang disebut dengan sunah.

Dan pengaruh Sunah Nabi Muhammad tersebut telah tergambar pada kehidupan para orang tua, muda, kaya, miskin, yang menjadikannya sebagai suri teladan bagi semua pengikutnya. ''Pertama kali saya menyadari pengaruh fisik dari Sunah Nabi Muhammad pada generasi muda Muslim adalah ketika suatu hari saya duduk di masjid, menyaksikan anak saya yang berumur 9 tahun shalat di samping guru mengajinya. Ubayda duduk di samping guru dari Arab Saudi yang dengan tekun dan lembut mengajarinya sehingga membuatnya sangat respek dan hormat,'' tuturnya. ed: sya

Islam itu Suka Berbagi 

Perkenalan Ingrid Mattson tentang Islam makin berkembang saat ia berkunjung ke sejumlah negara yang mayoritas berpenduduk Muslim.

Beberapa peristiwa yang dia temui di negaranegara tersebut, diakui Mattson, makin mempertebal keyakinannya terhadap Islam. Lebih setahun, dalam perjalanannya ke negara-negara Muslim ini ia menyaksikan kesamaan keinginan untuk berbagi dan selalu saling memberi antara sesama serta kesamaan keyakinan yang mendalam.

''Makanan untuk dua orang cukup untuk tiga orang dan makanan untuk tiga orang cukup untuk empat orang,'' jelasnya sambil mengutip hadis Nabi SAW.

Salah satunya adalah ketika ia mengunjungi Kosovo. Selama serangan Serbiake Kosovo, banyak Muslim Albania yang menyediakan rumah mereka untuk para peng ungsi. Bahkan, satu orang memasak setiap harinya untuk 20 orang dalam rumah yang sederhana.

Begitu juga ketika ia menikah di Pakistan. Sebagai pekerja sosial pada kamp pengungsian, Mattson dan suami tidak memiliki cukup uang. Sekembalinya dari pernikahan ke kamp pengungsian, para wanita Afghanistanbertanya kepadanya tentang pakaian, perhiasan emas, cincin kawin, dan kalung emas yang diberikan oleh suami kepadanya sebagai mahar.

''Saya perlihatkan kepada mereka cincin emas sederhana dan saya ceritakan tentang baju pengantin yang saya pinjam untuk menikah. Wajah mereka langsung berubah menunjukan perasaan sedih dan simpati.

'' Seminggu setelah peristiwa itu, saat ia sedang duduk di depan tenda kamp pengungsi yang berdebu, para wanita Afghanistantersebut muncul lagi. Mereka datang menemuinya dengan membawa celana biru cerah terbuat dari satin dengan hiasan emas, sebuah baju berlengan merah dengan warna-warni dan scarfwarna biru yang tampak serasi dengan pakaian, sebagai hadiah per -nikahan.

''Semua yang saya lihat adalah hadiah pernikahan yang tak ternilai bagi saya, bukan saja dukungan mereka, tetapi pelajaran keikhlasan dan rasa empati yang mereka berikan yang merupakan buah yang sangat manis dari sebuah keyakinan yang benar". dia/sya

Sumber : www.republika.co.id 

Dokter Perempuan di Era Turki Usmani


Sejarah peradaban Islam mencatat, begitu banyak rumah sakit yang didirikan oleh kaum perempuan. Paraperempuan pendiri rumah sakit di era kekhalifahan itu, biasanya adalah istri, anak perempuan atau ibu dari para sultan. Namun, seluruh staf atau pegawai rumah sakit pada masa itu adalah kaum Adam.

Prof Nil Sari, guru besar pada Fakultas Kedokteran Cerrahpahsa, Universitas Istanbul, Turki dalam sebuah penelitiannya, mengungkapkan, pada era kekhalifahan Turki Usmani sudah mulai banyak perempuan yang berprofesi sebagai dokter. Mereka sudah berpraktik baik di dalam istana kesultanan maupun di luar istana.
''Dokter perempuan pada era itu berbeda dengan bidan,'' ujar Nil Sari. Pada masa itu, bidan yang bertugas untuk membantu proses kelahiran dikenal dengan istilah ebe atau kabile. Sedangkan, dokter perempuan dikenal dengan sebutan tabibe. Sedangkan dokter pria dikenal sebagai tabib.  

Istilah itu, ditemukan Nil Sari, melalui sebuah lukisan miniatur bertarikh abad ke-15 M pada sebuah risalat tentang operasi pembedahan yang bertajuk, CerrahiyetUl Haniye of Sabuncuoglu. Dalam risalah itu, dokter perempuan sudah terlibat dalam operasi terhadap seorang pasien perempuan. 

Menurut Nil Sari, para dokter perempuan di era itu sudah terlibat dalam operasi atau penyembuhan penyakit-penyakit kewanitaan. Sejumlah dokumen yang berhubungan dengan istana, kata Nil Sari, membuktikan peran dokter wanita di era kekhalifahan Turki Usmani. 

''Baik di istana Adrinople yang dibangun pada 1450 M maupun di istana tua Bayezid dan istana Topkapi terdapat rumah sakit yang besar,'' papar Nil Sari. Rumah sakit di istana Topkapi dibangun sekitar abad ke-17 M yang dikenal sebagai "Cariyeler Hastanesi". Di rumah sakit itu, sudah terdapat tim kesehatan khusus yang terdiri dari para dokter perempuan untuk menangani kesehatan para selir. 

Tim kesehatan yang terdiri dari perempuan itu bernama "hastalar ustasi". Dokternya dikenal dengan panggilan hekime kadin atau dokter perempuan, Sedangkan asistennya disebut cariyesi. ''Gaji mereka terdaftar pada 1798-99. Tempat mandi dan dapur peninggalan rumah sakit untuk para selir di Istana Topkapi hingga kini masih ada,'' papar Nil Sari. 

Pada saat itu, dokter perempuan juga tak hanya menangani pasien perempuan. ''Kami memiliki arsip dokumen tentang pasien pria yang dioperasi oleh dua dokter perempuan,'' ungkap Nil Sari. Pasien-pasien itu, tinggal di tempat yang berbeda-beda, berjauhan satu dengan yang lainnya. 

Kedua dokter perempuan itu adalah dokter yang tak memiliki kantor. Mereka berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya, lalu menetap di daerah itu untuk sementara ketika ada pasien yang harus ditangani. Dokter-dokter perempaun yang berpindah-pidah tempat itu, suatu saat bisa menjadi dokter istana. 

''Ketika pelayanan kesehatan di istana tak mampu menyembuhkan seorang wanita atay seorang anak Sultan, dokter perempuan dari luar bisa dipanggil ke istana,'' papar Nil Sari. Berdasarkan dua dokumen yang terdapat di Istana Topkapi yang berasal dari pertengahan abad ke-17 M, mengisahkan tentang upaya kepala dokter istana Cemalzade Mehmed Efendi yang mengundang seorang dokter perempuan terkemuka yang dikenal sebagai kejime kadin. 

Dokter perempuan itu berasal dari Scutari. Sang dokter perempuan itu diundang ke "Saray-i Atik", istana tua, untuk menyembuhkan tiga pasien perempuan bernama, Ferniyaz Kalfa, Lalezar Kalfa dan Nazenin Kalfa. ''Dokter pria dan dokter perempuan pada masa itu benar-benar sangat dihormati,'' ungkap Nil Sari. 

Kiprah dan peran dokter perempuan di Kesultanan Ottoman juga dicatat oleh seorang Duta Besar Swedia bernama, d'Ohsson, pada abad ke-18 M. Ia juga menyebut dokter perempuan itu dengan nama hekime kadin. Menurut d'Ohsson, dokter perempuan di Turki itu kaya akan pengalaman, namun pengetahuannya tak terlalu luas. Menurut d'Ohsson, dokter perempuan di era Turki Usmani juga berprofesi sebagai bidan. 

Sementara itu, Ali Riza Bey, mencatat, istana pernah mengundang seorang dokter perempuan bernama Meryem Kadin. Ia diundang secara khusus, karena tim medis istana Turki Usmani tak mampu menyembuhkan Abdulmecid, putra mahkota yang akan mewarisi tahta pada awal abad ke-19 M. 

''Dokter perempuan ini, berhasil menyebuhkan Abdulmecid,'' papar Ali Riza Bey. Sebagai hadiah, sang dokter perempuan diberikan gaji bulanan dan akses bebas untuk memasuki istana para selir. Menurut dia, kiprah para dokter perempuan di istana berlanjut hingga paruh kedua abad ke-19 M. 

Satu dari empat dokter Muslim di antara 10 dokter yang bekerja di istana Yildiz pada tahun 1872 M adalah seorang dokter perempuan bernama ''Tabibe Gulbeyaz Hatun". Ia bergaji 200 akces per bulannya. 

Abdulaziz Bey mencatat, dalam tradisi Turki Usmani, para dokter perempuan kerap diundang ke istana untuk menghadiri beragam perayaan. Mereka juga diberika penghargaan yang dikenal dengan sebutan "Bairam".
Pada era kejayaan Turki Usmani, dokter-dokter perempuan yang disebut sebagai ''morti tabibe'' juga bekerja di kantor karantina. ''Kami menemukan gaji mereka tercatat dalam daftar upah para pegawai karantina.

Catatan itu diperoleh dalam sebuah dokumen bertarikh 1842 M,'' ungkap Nil Sari yang juga Kepala Etik Kedokteran dan Departemen Sejarah, Istanbul University, Sekolah Kedokteran Cerrahpasa. 

Sumber lainnya yang membuktikan kiprah para dokter perempuan Muslim juga terdapat dalam ukiran batu yang terdapat di Masjid Aya Sophia. Di tempat itu terdapat sebuah tulisan pada batu yang bertuliskan, ''tabibe kadin,'' seorang dokter Muslim yang ditulis pada tahun 1802 M. 

Para dokter perempuan Muslim di era keemasan Turki Usmani mempelajari ilmu kedokteran dari ibu mereka, yang juga dokter. Para perempuan di era itu juga sudah banyak yang bisa meracik obat-obatan. Fakta ini membuktikan betapa perempuan telah mendapatkan tempat untuk menduduki profesi penting dalam kehidupan sosial.  

Sekolah Kedokteran di Era Turki Usmani 

Tak hanya sekolah dasar yang tumbuh pesat di era keemasan Kerajaan Usmani. Sekolah yang levelnya lebih tinggi, seperti madrasah atau perguruan tinggi juga bermunculan. Dari madrasah itulah lahir sarjana-sarjana handal yang menguasai sains dan peradaban.
 
Itulah salah satu modal yang membuat Imperium Turki menjadi negara yang kuat, pada masanya. Kekuatan pemerintahan Usmani yang mampu menciptakan stabilitas politik dan ekonomi juga turut menopang perkembangan madrasah. Sistem pendidikan madrasah yang diterapkan pemerintahan Usmani sedikit-banyak turut mengadopsi warisan dari Dinasti Seljuk Turki. Bagi Kerajaan Usmani, pendidikan merupakan bidang yang terbilang amat penting. 

Tak heran jika di setiap wilayah yang ditaklukannya, pemerintahan Usmani selalu membangun madrasah di sekitar masjid. Ini merupakan bagian dari kebijakan penaklukan yang dilakukan Imperium Usmani. Bagi Turki Usmani, agama, ilmu pengetahuan, dan pendidikan merupakan tiga hal yang penting. Melalui pendidikan, pemerintahan Ottoman itu akan memiliki pegawai yang terdidik dan berkualitas. 

Madrasah pertama yang dibangun pemerintahan Usmani berada di Iznik (Nicea). Adalah Orhan Gazi - penguasa Dinasti Usmani -- yang kali pertama membangun madrasah itu. Dia membangun madrasah itu, tak lama setelah menaklukan kota itu pada 1330-1331 M. Untuk mengelola dan membiayai operasional madrasah itu, Orhan membentuk lembaga wakaf. Orhan juga ikut menjadi pengajar bersama wakilnya mevlana Davud Al-Kaysery yang telah menamatkan pendidikannya di Mesir. 

Sejumlah ilmuwan terkemuka pada waktu itu, seperti Davud Al-Kayser dan penggantinya Taceddin Al-Kurdi, serta Alaedin Esved juga turut mengajar di madrasah itu. Antara abad ke-14 hingga 16, tak kurang dari 115 ilmuwan telah lahir dari madrasah yang berada di Anatolia dan negara Islam lainnya. Sejak saat itulah, setiap penguasa Usmani mendirikan madrasah.  

Sultan Murad II di Edirne mendirikan Dar Al-Hadits Madrasah. Karamanoglu Ali Bey pada 1415 mendirikan Akmadrasa di Nigde. Sultan Muhammad II juga mendirikan Sahn-i Saman madrasa. Di Bursa Lala Sahin Pasha Madrasa yang didirikan pada 1348, tak sembarang guru bisa mengajar. Hanya guru yang berilmu dan berwawasan luas yang boleh mengajar.  

Madrasah didirikan tak hanya mencetak ulama. Namun, juga ilmuwan yang menguasai filsafat, matematika, astronomi, ilmu alam, geografi, serta kedokteran. Mulai dari abad ke-14 hingga Sultan Muhammad berkuasa, Imperium Usmani memiliki sekitar 42 madrasah yang tersebar di Bursa 25 madrasah, 13 madrasah di Edirne, dan empat madrasah di Iznik. Dalam waktu yang singkat, jumlah perguruan tinggi yang dimiliki Kerajaan Usmani terus bertambah banyak. Beberapa tahun kemudian, jumlahnya bertambah menjadi 82 madrasah. Itu berarti setiap dua tahun, berdiri dua perguruan tinggi atau madrasah. Setiap madrasah dirangking berdasarkan statusnya. 

Sayangnya, perkembangan dan kemajuan yang dicapai madrasah- madrasah di era Usmani itu mulai menurun pada abad ke-17 M. banyak pemikir Turki memperkirakan kemunduran itu terjadi akibat terlalu banyaknya jumlah mahasiswa yang belajar dan turunnya kualitas tenaga pengajarnya. Pendidikan Kedokteran Zaman Usmani 

Imperium Usmani memiliki konsep dan metode khusus dalam mendidik tenaga medis. Selain sudah memiliki tabib -- yang dikenal sebagai spesialis penyakit dalam pada era itu pemerintahan Usmani juga sudah memiliki dokter spesialis bedah, dokter spesiali orthopedi, dan lainnya. Para dokter itu dididik dengan cara yang berbeda-beda. Dokter pada masa itu menempati posisi yang amat tinggi. 

Para dokter itu dididik dan ditempa di sebuah madrasah dan dar al-shifa alias rumah sakit (RS). Di era itu, RS tak hanya menjadi tempat mengobati pasien, namun juga menjadi tempat bagi para calon dokter menempa diri. Di RS Kayseri, para calon dokter belajar mengenai dunia kedokteran secara teori dan praktik. 

Anak muda yang ingin menjadi dokter disebut talib. Sedangkan, mahasiswa kedokteran mendapat gelar Shaqirdi tabib. Para sakird atau mahasiswa kedokteran itu ikut hadir menangani berbagai kasus secara langsung di RS. Sedangkan di madrasah mereka mempelajari seluk-beluk kedokteran secara teori. 

Kerajaan Usmani Turki memiliki tradisi baru dalam membangun RS, yang berbeda dengan Dinasti Seljuk. Salah satunya adalah RS Bursa - bagian dari kompleks Sultan Yildirim. Di tempat itu juga dibuka sekolah kedokteran. Di RS Bursa itu ada ruang belajar dan ruangan guru yang juga para dokter. Di Istanbul, pemerintahan Usmani membangun RS Fatih pada 1470 M yang juga sekolah kedokteran. Selain itu di Edirne juga dibangun RS dan sekolah kedokteran yang bernama RS Bayezid II pada 1484. Hingga abad ke-19 M, para dokter dididik di RS yang sekaligus menjadi sekolah kedokteran. hri

Ahmed Zewail, Bapak Femtokimia


Berkat jasanya ilmu kimia memiliki cabang baru yang disebut Femtokimia. Atas jasanya itu,  Zewail didapuk sebagai Bapak Femtokimia. 

Para sejarawan sains Barat mengakui bahwa ilmu kimia merupakan warisan peradaban Islam pada era kekhalifahan.  Will Durant dalam The Story of Civilization IV: The Age of Faith, mengatakan, para kimiawan Muslim di zaman kekhalifahan telah meletakkan fondasi ilmu kimia modern. 

''Kimia merupakan ilmu yang hampir seluruhnya diciptakan oleh peradaban Islam,'' papar Durant. Tak heran jika  kimiawan Muslim di era keemasan bernama Jabir Ibnu Hayyan ditabalkan sebagai ''Bapak Kimia Modern''. Kontribusi kimiawan Muslim tak hanya diakui di era keemasan, pada zaman globalisasi pun  kimiawan Muslim masih berprestasi. 

Salah seorang penerus jejak Jabir Ibnu Hayyan di era modern itu bernama Ahmed Hassan Zewail atau Ahmed Zewail. Ia  merupakan ahli kimia Muslim  yang pernah meraih hadiah Nobel Kimia pada 1999. Penghargaan bergengsi itu diraihnya setelah berhasil  spektroskopi femto laser.  

Berkat jasanya ilmu kimia memiliki cabang baru yang disebut femtokimia. Atas jasanya itu, Zewail didapuk sebagai ''Bapak Femtokimia''. Zewail terlahir pada 26 Februari 1946 di Damanhur -- yang terletak 60 Km dari kota Alexandria, Mesir. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.  

Sejak remaja, Zewail sangat mencintai ilmu kimia. Bahkan, dia sering menghabisakan waktu berhari-hari untuk melakukan berbagai macam penelitian kimia kecil-kecilan. Kecintaannya  terhadap  Kimia mendorongnya untuk mendalami ilmu itu dengan sangat serius. 

Menurut Zewail, kimia sangat memesona dan memberinya pengalaman-pengalaman yang menakjubkan. ''Kimia menyediakan fenomena laboratorium yang ingin dicoba ulang dan dipahaminya secara terus menerus,'' tuturnya. 

Tanpa sepengetahuan orang tuanya, di dalam kamar tidur sendiri, Zewail kecil, sempat merakit sebuah peralatan kecil yang terbuat dari kompor ibunya serta beberapa tabung gelas milik keluraganya untuk mengamati bagaimana sebatang kayu diubah menjadi asap dan cairan. 

Selama masa SMA, kegiatan Zewail tak pernah terlepas dari berbagai macam percobaan kimia. Rupanya kimia telah mendarang daging dan menjadi bagian hidupnya. Setamat SM, Zewail memutuskan kuliah di Fakultas Sains Universitas Alexandria, jurusan kimia. 

Pada 1967, Zewail lulus dari Fakultas Sains Universitas Alexandria sebagai seorang sarjana kimia dengan meraih predikat cum laude. Melihat prestasinya yang sangat cemerlang di bidang pendidikan, terutama kimia, Zewail akhirnya diangkat sebagai asisten dosen di fakultasnya.  

Setelah itu, dia mendapatkan beasiswa S-2 guna mengasah bakat dan ilmunya lebih lanjut. Sebagai seorang asisten dosen dia sangat disukai oleh para mahasiswanya. Sebab selain baik budi pekertinya, dia mampu memberikan penjelasan-penjelasan tentang kimia kepada mahasiswanya dengan baik. Sehingga para mahasiswanya mampu menyerap ilmu yang disampaikannya. 

Pada 1969,  ia berkesempatan mendapat beasiswa pada prgram doktoral  Universitas Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat.  Pertama kali menginjakkan kaki dan belajar di Amerika Serikat membuat Zewail merasa sangat kesulitan. Maklum saja, budaya antara Mesir dan Amerika  sangat jauh berbeda. Selain itu, kemampuan berbahasa Inggrisnya masih pas-pasan. Meski begitu,  Zewail berbekal tekad baja, ia akhirnya mampu belajar di negara tersebut.  

Berbekat otak yang encer,  Zewail mampu menyelesaikan disertasinya dalam waktu yang singkat, yakni delapan bulan. Topik penelitian yang dikajinya dalam disertasinya itu tentang interaksi molekul dengan cahaya atau disebut spektroskopi pasangan molukeul (dimer). Pada 1974, Zewail meraih gelar doktor. 

Begitu menyelesaikan studinya, wilayah Timur Tengah dilanda peperangan dan mengalami pergolakan hebat. Zewail pun memutuskan kembali ke tanah kelahirannya, Mesir. Ia akhirnya bekerja sebagai peneliti pascadoktoral di Universitas Barkeley selama dua tahun dan melamar posisi dosen ke universitas-universitas ternama di Amerika Serikat.  

Setelah menerima beberapa tawaran,  ia memutuskan memilih berkarir pada California Institute of Technology di California. Di universitas tersebut, Zewail melakukan penelitian keadaan transisi reaksi kimia.  

Keadaan transisi reaksi kimia adalah waktu yang harus dilalui molekul atau atom saat bereaksi. Keadaan ini sangat sulit diamati sebab terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Waktu keadaan transisi yaitu dalam rentang femtodetik (sepuluh pangkat minus 15 detik). Sebagai gambaran, satu femtodetik setara dengan satu detik dibagi 32 juta tahun. 

Seperti para ahli kimia yang sudah melakukan penelitian sebelumnya, Zewail menghadapi berbagai macam masalah teknis dalam melakukan penelitian keadaan transisi ini. Bahkan beberapa ilmuwan mengatakan, apa yang dilakukan Zewail itu tidak akan berhasil.  

Zewail tak seperti ahli kimia lainnya yang pesimistis. Ia justru tertantang dan sekamin intensif dalam penelitiannya. Saking bersemangatnya,  ia sering berada di laboratorium sampai pukul  4 pagi dan menghabiskan bergelas-gelas kopi.  

Dia terus saja fokus terhadap penelitiannya. Hingga akhirnya, pada akhir1980-an, Zewail berhasil mengamati keadaan transisi reaksi kimia garam natrium iodida dengan spektotrofotometer baru ciptaannya, yang sumber cahayanya berasal dari laser berdurasi femtodetik.

Meski berhasil dalam penelitiannya, Zewail belum merasa puas. Dia menggunakan alatnya itu untuk meneliti reaksi-reaksi kimia lain dari  cairan, padatan, gas, dan bahkan reaksi-reaksi kimia hayati (reaksi kimia yang terjadi pada makhluk hidup). Penelitian-penelitian Zewail tersebut diakui dan dipuji sebagai terobosan oleh komunitas ilmiah. Beberapa tahun kemudian, penelitian-penelitan Zewail dan koleganya melahirkan cabang baru ilmu kimia yang disebut femtokimia. 

Tidak hanya itu, pada  1999, Zewail pun dianugerahi Hadiah Nobel Kimia. Dengan demikian, Zewail adalah peletak dasar pengembangan femtokimia, sehingga ia layak disebut sebagai Bapak Femtokimia. 

Bahkan Zewail pernah dinominasikan menjadi salah satu anggota Presidential Council of Advisors on Science and Technology (PCAST) bagi kepemimpinan Presiden Amerika Serikat yang baru Barack Obama. PCAST berbicara pnajang lebar mengenai edukasi, ilmu pengetahuan, pertahanan, energi, ekonomi, serta teknologi. 
  
Prestasi dan Karya Penerus Jabir Ibnu Hayyan 

Atas penemuannya terhadap ilmu femtokimia, Zewail mendapatkan berbagai macam penghargaan. Selain mendapatkan Nobel Kimia, ia juga meraih penghargaan Wolf Prize dalam bidang kimia pada  1993 dari Wolf Foundation.  Tolman Medal dan Robert A Welch Award juga sempat dianugerahkan kepadanya pada 1997.
Pada 1999, dia mendapatkan gelar penghormatan tertinggi di Mesir yaitu Grand Collar of the Nile. Zewail juga mendapatkan sempat menerima  gelar kehormatan PhD Honoris dari Lund University di Swedia pada  Mei 2003. Ia juga tercatat sebagai salah seorang anggota Royal Swedish Academy of Sciences. 

Cambridge University juga menganugerahinya gelar Honorary Doctorate in Science pada 2006. Dua tahun kemudian, tepatnya Mei 008, Zewail juga menerima menerima PhD Honoris Causa dari Complutense University of Madrid.  Setahun kemudian, ia juga diberikan honorary PhD dalam seni dan ilmu pengetahuan dari University of Jordan. 

Kecintaan Zewail terhadap ilmu pengetahuan, terutama kimia membuatnya tak pernah lelah untuk menuliskan berbagai macam cara dia melakukan percobaan kimia, termasuk prosesnya, hingga akhirnya mendapatkan hasil reaksi kimia yang mengagumkan. 

Dia terus menerus menulis berbagai macam karya yang berkaitan dengan ilmu kimia untuk membagikan pengetahuannya terhadap kimia kepada semua orang. Sejumlah karya-karya besar Zewail dalam ilmu kimia antara lain: Advances in Laser Spectroscopy I,  Advances in Laser Chemistry,  Photochemistry and Photobiology, Volume 1 dan 2, Ultrafast Phenomena VII, The Chemical Bond: Structure and Dynamics,  Ultrafast Phenomena VIII, serta Ultrafast Phenomena IX. 

Selain itu, dia juga menulis karya lainnya bertajuk, Femtochemistry: Ultrafast Dynamics of the Chemical Bond, serta  Voyage Through Time: Walks of Life to the Nobel Prize. Buku yang terkait dengan peristiwa Zewail mendapatkan Nobel ini diterjemahkan ke dalam 17 bahasa antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Romania, Hungaria, Rusia, Arabi, Cina, Korea, Indonesia, India 

Ia juga menulis buku bertajuk Age of Science, Time (Al Zaman, in Arabic), Dialogue of Civilizations 2007, Physical Biology: From Atoms to Medicine, serta  4D Electron Microscopy. 

Selain menulis berbagai macam buku tersebut, Ahmad Zewail juga menjadi editor  Encyclopedia of Analytical Chemistry. Hal itu dilakukannya supaya tidak ada kesalahan dalam menuliskan ensiklopedia kimia tersebut. dya/taq

Jadwal Waktu Sholat

( Untuk wilayah Samarinda dan sekitarnya )
Minggu ke-4 Maret 2010
Hari
Tanggl
Imsak
Shubuh
Dzuhur
Ashar
Maghrib
Isya’
Senin
22 Mar‘10
4.50
5.00
12.20
15.22
18.24
19.32
Selasa
23 Mar ‘10
4.50
5.00
12.20
15.23
18.24
19.32
Rabu
24 Mar ‘10
4.49
4.59
12.20
15.23
18.24
19.32
Kamis
25 Mar ‘10
4.49
4.59
12.19
15.24
18.23
19.31
Jum’at
26 Mar ‘10
4.49
4.59
12.19
15.24
18.23
19.31
Sabtu
27 Mar ‘10
4.49
4.59
12.19
15.24
18.23
19.31
Ahad
28 Mar ‘10
4.48
4.58
12.18
15.25
18.22
19.30

Sumber : Kanwil Depag Kaltim

Jadwal Pemutaran Tafsir Al Misbah

Setiap Hari ( Pukul 17.00 – 17.45 WITA )
Minggu ke-4 Maret 2010
No.
Hari
Tanggal
Judul
1.
Senin
22 Mar 2010
QS An Naas
2.
Selasa
23 Mar 2010
QS Al Mulk Bag. 1
3.
Rabu
24 Mar 2010
QS Al Mulk Bag. 2
4
Kamis
25 Mar 2010
QS Al Mulk Bag. 3
5.
Jum’at
26 Mar 2010
QS Al Mulk Bag. 4
6.
Sabtu
27 Mar 2010
QS Al Mulk Bag. 5
7.
Minggu
28 Mar 2010
QS Al Qalam Bag. 1