Terpesona Pada Komunitas Afrika


Bagi para penggemar sepak bola, tentu masih ingat pada aksi menawan el-Hadji Diouf dkk, pemain Timnas Senegal, saat menaklukkan Juara Dunia Prancis 1998 dan Juara Eropa 2000, pada pertandingan pembuka Piala Dunia 2002 di Jepang dan Korea Selatan. Ketika itu, Senegal unggul 1-0 atas Zinedine Zidane dkk.
Tak ada yang menduga sebelumnya, bila Senegal mampu menaklukkan Ayam Jantan--julukan Timnas Prancis--di kejuaraan dunia itu. Alih-alih menang, bisa berpartisipasi saja dalam kejuaraan itu, sudah membuat bangga publik Senegal.
Namun, dengan semangat membara, putra-putra dari daratan Afrika itu mampu menunjukkan 'tajinya' hingga berhasil menggagalkan Prancis lolos dari grup A yang dihuni Denmark, Senegal, Uruguay, dan Prancis.
Sebaliknya, tiga angka yang diraih atas kemenangan melawan Prancis, serta hasil imbang melawan Denmark dan Uruguay, menempatkan Senegal sebagai Runner-Up Grup A dengan poin lima, dan berhak lolos ke putaran 16 besar atau perdelapan final.
Keganasan anak-anak Senegal di putaran pertama Piala Dunia 2002 itu, seakan membuka mata dunia. Mereka tak berani lagi memandang sebelah mata El-Hadji Diouf dkk. Swedia yang mereka jumpai di babak perdelapan final pun, gigit jari dibuatnya. Hendrik Larsson dkk dibuat bertekuk lutut, setelah dua gol yang dilesakkan Henri Camara, pada menit ke-37 dan menit ke-103 di masa perpanjangan waktu. Kedudukan menjadi 2-1 untuk Senegal. Senegal pun menembus perempat final. Di babak ini, mereka berjumpa dengan Turki dan akhirnya kalah dengan skor 0-1 berkat gol Ilhan Mansiz.
Kendati gagal pada putaran berikutnya, namun keberhasilan mereka menembus perempat final Piala Dunia 2002 itu, membuat pasukan Senegal makin ditakuti. Dan para pendukung (suporter) Senegal pun memberikan sambutan hangat dan menganggap mereka sebagai pahlawan Senegal. Mereka pulang dengan kepala tegak.
Dari putaran final Piala Dunia 2002 ini, ada dua nama yang langsung melejit atas prestasi yang ditorehkan Senegal pada kejuaraan itu, yakni El-Hadji Diuof, sang pencetak gol ke gawang Prancis yang dikawal Fabian Bartez, dan Bruno Metsu, sang arsitek (pelatih). Dan sejak saat itu, nama Bruno Lucas Felix Metsu makin populer. Bruno Metsu dianggap sebagai seorang pelatih hebat, karena mengantarkan Senegal meraih prestasi tertinggi Senegal di dunia sepak bola. Dan pencapaian ini, juga menjadi pencapaian tertinggi Bruno Metsu sepanjang kariernya.
Metsu bukanlah pemain dan pelatih terkenal. Ia berkarier lebih dari 30 tahun, mulai dari pemain hingga kini sebagai pelatih sepak bola. Ia pernah bermain di klub papan bawah Prancis dan Belgia seperti Dunkerqe, Nice, Lille, dan Anderlecht. Sejak 1988, ia menangani klub kelas dua Prancis, Beauvais, kemudian Lille, Valenciennes, Sedan, dan Valence. Sebelum menangani Senegal, ia sempat menangani negara kecil Afrika, Guinea, selama enam bulan.
Meski sukses melatih timnas Senegal, bukan berarti Metsu tidak menemui hambatan. Pertama kali tiba d Senegal, menurutnya, sama seperti pertama kali menangani klub Sedan. Semua orang menganggapnya sebagai makhluk asing dari luar angkasa. ''Mestinya, sebelum menilai seseorang, beri dia waktu untuk bekerja. Tapi biarlah, toh semua pun kemudian tahu apa yang telah saya perbuat,'' katanya.
Namun, nyatanya dalam waktu singkat Metsu berhasil menggaet simpati para pemain dan official tim Senegal. Bukan dengan pendekatan hierarkis dan militeristik, melainkan dengan pola keterbukaan dan saling menyayangi. Kepada para pemain, berkali-kali ia menegaskan, ''Aku bukan polisi, tapi pelatih. Dan kalian bebas mengekspresikan apa saja.''
Human interest
Dengan pendekatan itu, Metsu berkeliling ke sejumlah klub papan bawah Prancis, dan berhasil membawa pulang para pemain yang sebelumnya enggan bergabung di tim nasional. Dalam menumbuhkan motivasi, disiplin, dan tanggung jawab, dia tidak pernah melepaskan suasana rileks, senda gurau, dan kekeluargaan. Apa pun persoalan yang dihadapi, selalu dipecahkan bersama.
Empati dan human interest. Itulah yang dirasakan asisten pelatih Jules Francois Bocande, dan para pemain Senegal, dari kepribadian Metsu. ''Bukan soal skill (keahlian), melainkan mentalitas, solidaritas, dan rasa kebersamaan, yang hilang selama saya jadi pemain nasional. Metsu berhasil menumbuhkannya,'' kata Bocande.
Henri Camara, penentu kemenangan Senegal atas Swedia pada laga perdelapan final Piala Dunia 2002, juga mengakuinya. ''Dialah pelatih yang tahu bagaimana menjadi teman sejati para pemain, bagaimana menumbuhkan rasa percaya diri,'' ujarnya.
Berbeda dengan para pelatih tim lain yang terlihat tegang serius, dan kerap berteriak dalam balutan stelan jas dan dasi saat melihat anak asuhnya berlaga, tampilan Metsu sangat santai. Dengan t-shirt yang kerap ia kenakan dan rambut panjang yang tergerai, sosoknya lebih layak disebut sebagai seniman. Ia mengingatkan kita pada sosok legenda musik rock, Jim Morisson.
Terhadap rambut panjangnya, seorang wartawan pernah berkelakar dalam jumpa pers seusai kemenangan Senegal atas Prancis. ''Apa hubungan kemenangan ini dengan rambut panjang Anda?'' tanya sang wartawan. ''Rambut saya tidak lebih panjang dari kemenangan yang akan dicapai para pemain,'' jawab Metsu rileks, sambil menggeraikan rambut ikalnya.
Masuk Islam
Filosofi kepelatihan yang ada dalam diri Metsu sebenarnya kian tumbuh seiring dengan keterpesonaannya terhadap Benua Afrika. Pria yang lahir di Coudekerque-Village, Prancis, pada 28 Januari 1954 ini sangat mengagumi budaya Afrika. ''Ada suatu misteri, nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, persahabatan, sesuatu yang sudah hilang di Eropa,'' katanya.
Metsu mengatakan, di Afrika pintu selalu terbuka. Sementara di Eropa, pemain hanya akan mendatangi pelatih saat punya masalah. Sedangkan di Afrika, mereka akan mendatanginya kapan pun, untuk menyaksikan bagaimana sang pelatih bekerja. Pesona Afrika itu sangat menyentuh Metsu. ''Aku ini kulit putih berhati negro,'' tukasnya bangga.
Boleh jadi, sentuhan nilai-nilai Afrika ini pula yang membuatnya memeluk Islam pada 24 Maret 2002. Asal tahu saja, lebih dari 90 persen penduduk Senegal adalah pemeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia kemudian mengganti namanya dengan Abdul Karim.
Abdul Karim sendiri memang tak pernah mengungkapkan alasannya memeluk Islam. Namun, pada saat bersamaan, ia juga mengikrarkan pernikahannya dengan gadis Senegal, Rokhaya Daba Ndiaye. Menurut harian lokal Senegal, Him Soleil, pesta pernikahannya berlangsung meriah dengan menggunakan tradisi setempat. Harian tersebut juga menuliskan bahwa Abdul Karim memberikan sebuah limousin mewah beserta uang tunai enam ribu euro sebagai mas kawin.
Bersama istri para pemain Senegal, Rokhaya selalu setia memberi semangat pada tim nasional Senegal setiap kali mereka bertanding. Seperti pada ajang Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang. Tidak seperti pelatih tim negara lain yang melarang para pemainnya untuk mengajak serta para istri mereka, Abdul Karim justru menempatkan para istri dari skuad tim nasional Senegal dalam satu hotel yang sama, tempat mereka menginap selama perhelatan Piala Dunia 2002.
Usai mengukir prestasi di Piala Dunia 2002, sejumlah klub dan negara berebut meminangnya. Padahal, kontraknya dengan Senegal saat itu belum berakhir. Mendengar kabar tersebut, alhasil sejumlah pemain timnas Senegal berkali-kali mendatangi Abdul Karim untuk mencegah kepindahannya. Inilah yang membuat Abdul Karim merasa berat hati untuk meninggalkan Senegal.
Namun, akhirnya ia tetap memutuskan pindah dan pilihannya jatuh ke klub sepak bola asal Uni Emirat Arab (UEA), Al-Ain. Selain Al-Ain, ia juga tercatat pernah melatih klub Qatar, Al-Gharafa, selama dua musim (2004-2006). Mengenai keputusannya ini Abdul Karim mengungkapkan sebuah pesan: ''Biarkan orang menilai apa pun ketika pertama kali Anda datang untuk menangani sebuah tim. Cukuplah ketika Anda hendak meninggalkannya, semua orang mengenang prestasi yang pernah Anda ukir.''
Setelah kontraknya dengan Al-Gharafa berakhir, Abdul Karim mendapat tawaran untuk melatih tim nasional UEA. Namun pada September 2008, secara mengejutkan ia mengumumkan pengunduran dirinya sebagai pelatih UEA. Sejumlah media mengabarkan bahwa pelatih asal Prancis itu putus asa setelah UEA mengalami dua kekalahan pada pertandingan pembukaan mereka di kualifikasi akhir zona Asia untuk Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.
Kini ia dipercaya oleh Federasi Sepak Bola Qatar (QFF) untuk melatih tim nasional Qatar hingga 2014 mendatang. Dengan capaian prestasi yang pernah ia torehkan saat mengarsiteki tim nasional Senegal, tak mengherankan jika publik Qatar menaruh harapan besar pada Abdul Karim untuk mewujudkan impian lolos ke putaran final Piala Dunia 2014 di Brasil.
Biodata
Nama Lengkap : Bruno Lucas Felix Metsu

Tanggal Lahir : 28 Januari 1954
Tempat Lahir : Coudekerque-Village, Nord, Prancis
Awal Karier : Pemain Dunkerque
Karier Senior :
1963-1970 ==> Dunkerque
1970-1973 ==> RSC Anderlecht
1973-1975 ==> Valenciennes
1979-1981 ==> Lille
1981-1982 ==> Nice
1982-1984 ==> Roubaix
1984-1987 ==> Beauvais Oise

Karier Kepelatihan:

1987-1992 ==> Beauvais Oise
1992-1993 ==> Lille
1993-1994 ==> Valenciennes
1995-1998 ==> CS Sedan Ardennes
1998-1999 ==> ASOA Valence
2000   ==> Guinea
2000-2002 ==> Senegal
2002-2004 ==> Al-Ain
2005-2006 ==> Al-Gharrafa
2006   ==> Al-Ittihad
2006-2008 ==> UEA
2008-   ==> Qatar


Sumber : Republika Online 

0 komentar:

Posting Komentar