BANJIR NABI NUH


Seri Buku         : Jejak – Jejak Bangsa Terdahulu
Karangan         : Harun Yahya
Kamis, 12 November 2009
(Pukul 08.00 – 09.00 WITA )

Berapa Tinggikah Banjir Tersebut?

Perdebatan yang marak tentang Banjir Nabi Nuh ini adalah  apakah ketinggian air cukup untuk menenggelamkan gunung? Sebagaimana diketahui, Al Quran menginformasikan kepada kita bahwa perahu Nabi Nuh itu terdampar di “Al Judi” seusai banjir. Umumnya, kata “Judi” dirujuk sebagai lokasi gunung tertentu, sementara kata itu berarti “tempat yang tinggi atau bukit” dalam bahasa Arab. Karenanya, jangan dilupakan bahwa dalam Al Quran, “Judi” bisa jadi tidak digunakan sebagai nama gunung tertentu, akan tetapi untuk mengisyaratkan bahwa perahu Nuh telah terdampar pada suatu ketinggian. Di samping itu, makna kata “judi” yang disebutkan di atas mungkin juga menunjukkan bahwa air bah itu mencapai ketinggian tertentu, tetapi tidak mencapai ketinggian pun-cak gunung. Dengan kata lain bahwa banjir itu kemungkinan besar tidak menenggelamkan seluruh bumi dan semua gunung-gunung sebagai-mana digambarkan dalam Perjanjian Lama, tetapi hanya menggenangi wilayah tertentu.

Lokasi Banjir Nuh

Daratan Mesopotamia diduga kuat sebagai lokasi Banjir Nuh. Di sini terdapat peradaban tertua yang dikenal sejarah. Lagi pula, karena berada di antara sungai Tigris dan Eufrat, secara geografis tempat ini sangat memungkinkan terjadinya sebuah banjir besar. Di antara faktor penyebab terjadinya banjir besar kemungkinan karena kedua sungai ini meluap dan membanjiri wilayah tersebut.
Alasan kedua, daerah tersebut diduga kuat sebagai tempat terjadinya banjir bersifat historis. Dalam catatan sejarah berbagai peradaban manu-sia di wilayah tersebut, banyak dokumen yang ditemukan merujuk pada sebuah banjir yang terjadi dalam periode yang sama. Setelah menyak-sikan kebinasaan kaum Nabi Nuh, peradaban-peradaban tersebut agak-nya merasa perlu mencatat dalam sejarah mereka, bagaimana bencana itu terjadi, serta akibat-akibat yang ditimbulkannya. Diketahui pula bahwa mayoritas legenda tentang banjir tersebut berasal dari Mesopotamia. Lebih penting lagi bagi kita adalah temuan-temuan arkeologis. Temuan-temuan tersebut membenarkan terjadinya sebuah banjir besar di wilayah ini. Sebagaimana akan kita bahas secara rinci pada halaman-halaman be-rikut, banjir ini telah menyebabkan tertundanya peradaban selama perio-de tertentu. Dalam penggalian-penggalian yang dilakukan, tersingkap jejak-jejak nyata sebuah bencana dahsyat.
Penggalian-penggalian di wilayah Mesopotamia mengungkap bah-wa berkali-kali dalam sejarah, wilayah ini diserang berbagai bencana sebagai akibat dari banjir dan meluapnya Sungai Eufrat dan Tigris. Misal-nya, pada alaf kedua Sebelum Masehi (SM), pada masa Ibbisin, penguasa negeri Ur yang luas, yang berlokasi di sebelah selatan Mesopotamia, sebuah tahun tertentu ditandai dengan “pasca Banjir yang melenyapkan garis batas antara langit dan bumi”.1 Sekitar 1700 SM, pada masa kekua-saan Hamurabi dari Babilonia, sebuah tahun ditandai dengan terjadinya peristiwa “kehancuran kota Eshnunna oleh air bah”.
Pada abad ke-10 SM, pada masa pemerintahan Nabu-mukin-apal, sebuah banjir terjadi di kota Babilon.2 Setelah zaman Nabi Isa (Jesus) pada abad ke-7, ke-8, ke-10, ke-11, dan ke-12, banjir-banjir yang bersejarah terjadi di wilayah tersebut. Dalam abad ke-20, kejadian serupa terjadi pa-da tahun 1925, 1930, dan 1954.3 Jelaslah bahwa wilayah ini telah senantiasa diserang bencana banjir, dan sebagaimana ditunjukkan dalam Al Quran, sangat mungkin suatu banjir besar-besaran telah membinasa-kan suatu komunitas secara keseluruhan.

Bukti-Bukti Arkeologis tentang Banjir
Bukanlah suatu kebetulan bila sekarang ini kita menemukan jejak-jejak dari kebanyakan kaum yang menurut Al Quran telah dibinasakan. Bukti-bukti arkeologis menyajikan fakta, bahwa semakin mendadak ke-hancuran suatu kaum, semakin memungkinkan bagi kita untuk men-dapati sebagian bekasnya.
Jika sebuah peradaban hancur secara tiba-tiba, yang dapat terjadi ka-rena bencana alam, emigrasi yang mendadak, atau perang, jejak-jejak peradaban ini sering dapat lebih terpelihara. Rumah-rumah yang pernah mereka huni, peralatan-peralatan yang pernah mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari, segera akan terkubur. Maka, semua itu dapat terpelihara dalam waktu yang lama tanpa tersentuh tangan manusia, dan menjadi bukti penting tentang masa lampau bila dikeluarkan.
Jadi begitulah hingga banyak bukti tentang Banjir Nabi Nuh ter-ungkap saat ini. Diperkirakan terjadi sekitar alaf ke-3 SM, Banjir itu telah mengakhiri suatu peradaban seluruhnya dengan seketika, dan selanjut-nya menyebabkan lahirnya sebuah peradaban baru sebagai gantinya. Jadi, bukti-bukti nyata tentang Banjir ini telah terpelihara selama ribuan tahun agar kita bisa mengambil pelajaran darinya.
Banyak penggalian telah dilakukan untuk menyelidiki banjir yang telah menenggelamkan daratan-daratan Mesopotamia. Dalam berbagai penggalian di wilayah tersebut, di empat kota utama ditemukan jejak-je-jak yang menunjukkan terjadinya sebuah banjir besar. Kota-kota tersebut ada-lah kota-kota penting di Mesopotamia; Ur, Erech, Kish, dan Shuruppak.
Penggalian-penggalian di kota-kota ini mengungkap bahwa keempat kota ini telah dilanda sebuah banjir sekitar alaf ke-3 SM.
Pertama, mari kita lihat penggalian-penggalian yang dilakukan di kota Ur.
Sisa-sisa tertua dari sebuah peradaban yang tersingkap dari peng-galian terdapat di kota Ur, yang kini telah berganti nama menjadi “Tell al Muqayyar”, berusia 7000 tahun SM. Sebagai situs dari salah satu per-adaban tertua, kota Ur telah menjadi wilayah hunian tempat silih ber-gantinya berbagai kebudayaan.
Temuan arkeologis dari kota Ur memperlihatkan bahwa di sini per-adaban pernah terputus setelah terjadinya sebuah banjir dahsyat, dan kemudian peradaban-peradaban baru tampil. R. H. Hall dari British Mu-seum melakukan penggalian pertama di tempat ini. Leonard Woolley yang melakukan penggalian setelah Hall, menjadi pengawas penggalian yang secara kolektif dikelola oleh the British Museum dan University of Pennsylvania. Penggalian-penggalian yang dipimpin Woolley, yang ber-pengaruh di seluruh dunia, berlangsung dari 1922 sampai 1934.
Penggalian-penggalian oleh Sir Woolley dilakukan di tengah padang pasir antara Baghdad dan Teluk Persia. Pendiri pertama kota Ur adalah kaum yang datang dari Mesopotamia Utara dan menyebut diri mereka “bangsa Ubaid.” Pada awalnya, penggalian itu dilakukan untuk meng-himpun informasi tentang mereka. Penggalian yang dilakukan Woolley digambarkan oleh seorang arkeolog Jerman, Werner Keller, sebagai berikut:
“Kuburan Raja-Raja Ur” begitu Woolley, dalam kegembiraan atas penemu-annya, menamakan makam para bangsawan Sumeria tersebut. Kehebatan kekuasaan mereka terungkap saat sekop para arkeolog mengenai sebuah tanggul sepanjang 50 kaki di sebelah selatan candi dan mengungkap deretan panjang pekuburan yang tertimbun. Kuburan-kuburan batu yang ditemu-kan benar-benar merupakan tempat penyimpanan harta, karena dipenuhi piala-piala mahal, beraneka kendi dan vas yang indah, barang becah belah dari perunggu, kepingan-kepingan mutiara, lapis lazuli, dan perak yang mengelilingi jasad-jasad yang telah menjadi debu. Harpa dan lira tersandar di dinding-dinding. “Hampir seketika” dia kemudian menulis dalam buku hariannya, “Penemuan-penemuan menegaskan kecurigaan-kecurigaan kami. Tepat di bawah lantai dari salah satu lubang kubur para raja, di bawah lapisan abu kayu, kami menemukan tablet-tablet tanah liat, yang dipenuhi huruf yang jauh lebih tua daripada tulisan pada kuburan. Melihat sifat dari tulisan, tablet-tablet tersebut kemungkinan dibuat sekitar tahun 3.000 SM. Berarti, mereka dua atau tiga abad lebih awal dari makam tersebut.”
Lubang itu bertambah dalam. Tingkatan yang baru, dengan pecahan-pecah-an kendi, pot, dan mangkuk terus muncul. Para ahli memperhatikan bahwa sisa tembikar itu secara mengejutkan tidak terlalu berubah; tampak serupa dengan yang ditemukan di pekuburan para raja. Karena itulah, sepertinya selama berabad-abad peradaban Sumeria tidak mengalami perubahan yang radikal. Mereka tentunya, menurut kesimpulan, telah mencapai tingkat perkembangan yang tinggi jauh lebih awal lagi.
Ketika beberapa hari kemudian, para pekerja berteriak, “Kita sampai di ting-kat dasar.” Woolley sendiri turun ke lantai lubang galian untuk memuaskan dirinya. Pikiran Woolley pertama kali, “Inilah dia akhirnya”. Lantai itu berupa pasir, jenis pasir murni yang hanya bisa didepositkan oleh air.
Mereka memutuskan untuk terus menggali dan membuat lubang itu lebih dalam lagi. Sekop menggali semakin dalam dan semakin dalam: tiga kaki, enam kaki masih berupa lumpur murni. Tiba-tiba, pada kedalaman sepuluh kaki, lapisan lumpur terhenti sama mendadak dengan bermulanya. Di bawah deposit tanah liat setebal kurang lebih sepuluh kaki, mereka dikejutkan oleh bukti-bukti baru dari hunian manusia. Wujud dan kualitas dari tembikar tampak sangat berubah. Di sini, barang-barang tersebut dibuat dengan tangan. Sisa-sisa logam tak ditemukan di mana-mana. Peralatan primitif yang muncul terbuat dari pengerjaan dengan batu api. Ini mesti berasal dari Zaman Batu!
Banjir itulah penjelasan satu-satunya bagi besarnya deposit tanah liat di bawah bukit di kota Ur, yang dengan cukup jelas memisahkan dua masa kehidupan. Laut telah meninggalkan jejak-jejak yang tidak terpungkiri dalam bentuk sisa-sisa organisme laut kecil yang tersimpan dalam lumpur.4
Analisis mikroskopis mengungkapkan bahwa deposit tanah liat yang besar di bawah bukit di kota Ur telah terakumulasi sebagai akibat dari ba-njir teramat besar yang laksana melenyapkan peradaban Sumeria kuno. Epik tentang Gilgamesh dan cerita tentang Nuh tersatukan dengan lu-bang galian yang jauh di bawah gurun Mesopotamia.
Max Mallowan menuturkan pikiran-pikiran Leonard Woolley, yang menyatakan bahwa endapan masif sebesar itu dan terbentuk dalam suatu periode waktu hanya bisa terjadi karena bencana banjir yang sangat besar. Woolley juga menguraikan bahwa lapisan banjir yang memisahkan kota Sumeria di kota Ur dengan kota Al Ubaid yang penduduknya mengguna-kan tembikar yang dicat, sebagai sisa dari Banjir tersebut.5
Ini semua menunjukkan bahwa kota Ur adalah salah satu dari ber-bagai daerah yang terkena Banjir Nuh. Digambarkan oleh Werner Keller bahwa arti penting penggalian arkeologis di Mesopotamia adalah bahwa sisa-sisa kota di bawah lapisan berlumpur tersebut membuktikan pernah terjadinya banjir di tempat ini pada dahulu kala.6
Kota lain di Mesopotamia yang juga menyimpan jejak-jejak Banjir Nuh adalah kota Kish di Sumeria, yang saat ini dikenal sebagai “Tall Al Uhaimer”. Menurut sumber-sumber Sumeria kuno, kota ini merupakan “kedudukan dari dinasti 'pascadiluvian' yang pertama”.7
Kota Shuruppak di sebelah selatan Mesopotamia, yang saat ini ber-nama “Tall Far’ah” pun menyimpan jejak-jejak nyata dari banjir tersebut. Studi arkeologis yang dilakukan di kota ini dipimpin oleh Erich Schmidt dari Universitas Pennsylvania antara tahun 1922-1930. Penggalian-peng-galian ini mengungkapkan tiga lapisan hunian manusia dalam rentang waktu sejak masa prasejarah hingga dinasti Ur ketiga (2112-2004 SM). Temuan paling istimewa adalah reruntuhan rumah-rumah yang dibangun dengan baik, sekaligus dengan tablet-tablet bertulisan paku (cuneiform) tentang catatan administratif dan daftar kata-kata, yang mengindikasikan keberadaan suatu masyarakat yang telah maju pada akhir alaf ke-4 SM.8
Poin terpenting adalah dimengerti bahwa sebuah banjir besar telah terjadi di kota ini sekitar tahun 2900-3000 SM. Menurut catatan Mallo-wan, 4-5 meter di bawah tanah, Schmidt telah mencapai lapisan tanah kuning (dibentuk oleh banjir) yang berupa campuran tanah liat dan pasir. Lapisan ini lebih dekat ke lapisan datar daripada profil tumulus dan dapat teramati di seputar tumulus.… Schmidt memastikan bahwa lapisan yang terbentuk dari campuran tanah liat dan pasir ini, yang tersisa dari masa kerajaan kuno Cemdet Nasr, sebagai “pasir yang berasal dari dalam sungai” dan ini menghubungkannya dengan Banjir Nuh.9
Pada penggalian yang dilakukan di kota Shuruppak, ditemukan sisa-sisa banjir yang terjadi kurang lebih tahun 2900-3000 SM. Mungkin, kota Shuruppak terkena imbas dari banjir sebesar kota-kota lain.10
Tempat terakhir yang menunjukkan terjadinya banjir adalah kota Erech di selatan kota Shuruppak yang kini dinamai “Tall al-Warka”. Di kota ini, sebagaimana di kota-kota yang lainnya, ditemukan lapisan ban-jir. Lapisan ini berjangka waktu antara 2900-3000 SM seperti yang lain.11
Sebagaimana diketahui, sungai Eufrat dan Tigris melintasi Mesopo-tamia dari ujung ke ujung. Tampaknya selama peristiwa itu, kedua sungai ini meluap, begitupun banyak sumber mata air lainnya, besar maupun kecil, dan ketika bersatu dengan air hujan, telah menyebabkan sebuah banjir yang dahsyat. Peristiwa itu digambarkan dalam Al Quran:

“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan.” (QS. Al Qamar, 54:11-12) !

Jika faktor-faktor penyebab banjir itu dibahas satu per satu, tampak-lah bahwa kesemuanya itu merupakan fenomena yang sangat alami. Adapun yang menjadikan peristiwa itu penuh mukjizat adalah karena kejadiannya bersamaan dan peringatan Nabi Nuh kepada kaumnya ten-tang bencana seperti itu terlebih dahulu.
Pengujian terhadap bukti yang didapat dari kajian lengkap meng-ungkapkan bahwa daerah banjir membentang sekitar 160 km (lebar) dari timur ke barat, dan 600 km (panjang) dari utara ke selatan. Ini menunjuk-kan bahwa banjir tersebut menutupi seluruh daratan Mesopotamia. Jika kita uji urutan kota-kota Ur, Erech, Shuruppak, dan Kish yang menunjuk-kan jejak-jejak banjir Nuh, tampaklah bahwa kota-kota ini berada dalam satu garis sepanjang rute tersebut. Oleh karena itu, banjir tersebut pastilah telah melanda keempat kota ini dan daerah-daerah sekitarnya. Di sam-ping itu, harus dicatat bahwa pada sekitar 3.000 tahun SM, struktur geografis daratan Mesopotamia berbeda dengan kondisi sekarang. Pada masa itu, posisi sungai Eufrat terletak lebih ke timur dibandingkan de-ngan posisi saat ini; garis arus sungai itu sesuai dengan garis yang mele-wati kota Ur, Erech, Shuruppak, dan Kish. Dengan terbukanya “mata air di bumi dan di surga”, agaknya sungai Eufrat meluap menyebar sehingga merusak empat kota di atas.

Agama dan Kebudayaan yang Menyebutkan Banjir Nuh

Peristiwa Banjir Nuh tersebut disebarluaskan ke hampir semua ma-nusia melalui lisan para nabi yang menyampaikan agama yang hak, tetapi akhirnya menjadi legenda oleh berbagai kaum, dan kisah itu mengalami berbagai penambahan dan pengurangan dalam periwayatannya.
Allah telah menyampaikan kisah tentang Banjir Nuh kepada manu-sia melalui para rasul dan kitab-kitab yang Dia turunkan kepada berbagai masyarakat agar hal itu menjadi peringatan atau permisalan. Namun, tiap masa kitab-kitab tersebut telah dirubah dari aslinya, dan penggambaran Banjir Nuh juga telah ditambahi unsur-unsur mitologis. Hanya Al Quran satu-satunya sumber yang secara mendasar sesuai dengan temuan-temu-an dan observasi empiris. Hal ini tidak lain karena Allah telah menjaga Al Quran dari perubahan, meski sebuah perubahan kecil sekalipun, maupun pengurangan. Sesuai isyarat Al Quran “Kami telah dengan tanpa keragu-an menurunkan risalah, dan Kami dengan pasti akan menjaganya (dari pengurangan)” (QS. Al-Hijr, 15: 9), Al Quran berada di bawah pengawas-an khusus Allah.
Pada bagian akhir bab ini, kita akan melihat, bagaimana peristiwa Banjir Nuh digambarkan meski telah sangat berubah dalam berbagai ke-budayaan, serta dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Banjir Nabi Nuh dalam Perjanjian Lama

Kitab yang sebenarnya diwahyukan kepada Nabi Musa adalah Tau-rat. Nyaris tidak ada dari wahyu ini tersisa, dan kitab Injil “Pentateuch” (lima buku pertama dari kitab Perjanjian Lama), seiring perjalanan waktu, telah kehilangan hubungannya dengan wahyu yang asli. Bahkan kemudi-an sebagian besar isinya telah diubah oleh para rabbi Yahudi. Begitu pula, wahyu-wahyu yang dibawa nabi-nabi lain yang diutus kepada Bani Israil setelah Nabi Musa, mendapat perlakuan serupa dan sangat banyak per-ubahan. Kondisi inilah yang membuat kita menyebutnya sebagai “Penta-teuch yang Diubah” karena telah kehilangan hubungan dengan wahyu aslinya, dan menganggapnya sebagai karya manusia yang berupaya men-catat sejarah suku bangsanya, bukan sebagai sebuah kitab suci. Tidaklah mengherankan jika keadaan Pentateuch yang Diubah itu dan berbagai kontradiksi yang dikandungnya sangat tampak pada pemaparannya ten-tang kisah Nabi Nuh, meskipun mempunyai kesamaan dengan Al Quran dalam beberapa bagian.
Menurut Perjanjian Lama, Tuhan berfirman kepada Nuh bahwa semua orang, kecuali mereka yang beriman, akan dihancurkan karena bumi telah penuh dengan berbagai kejahatan. Untuk menghadapi ini, Tuhan memerintahkan Musa membuat bahtera dan mengajarkan dengan rinci bagaimana mengerjakannya. Tuhan juga menyuruhnya membawa keluarganya, tiga orang anaknya, istri-istri mereka, sepasang dari setiap makhluk hidup, dan persediaan bahan pangan.
Tujuh hari kemudian, ketika tiba waktunya Banjir, semua sumber air dalam tanah memancar, pintu-pintu langit terbuka, dan sebuah banjir be-sar menenggelamkan segala sesuatu. Hal ini berlangsung selama empat puluh hari dan empat puluh malam. Bahtera Nuh melayari air yang menutupi semua pegunungan dan dataran tinggi. Mereka yang bersama Nuh selamat, sedang sisanya terseret air bah dan mati tenggelam. Hujan berhenti setelah terjadi banjir, yang berlangsung selama empat puluh hari empat puluh malam, dan air mulai surut 150 hari kemudian.
Kemudian, pada hari ketujuh belas pada bulan ketujuh, kapal ter-sebut terdampar di pegunungan Ararat (Agri). Nuh mengirim seekor merpati untuk melihat apakah air telah benar-benar surut, dan ketika akhirnya merpati tersebut tidak kembali lagi, Nuh menyadari bahwa air telah surut seluruhnya. Tuhan memerintahkan mereka meninggalkan kapal dan menyebar ke seluruh penjuru bumi.
Salah satu kontradiksi pada kisah dalam Perjanjian Lama adalah: Se-telah uraian ini, dalam versi “Yahudi”, disebutkan bahwa Tuhan meme-rintahkan Nuh untuk membawa tujuh jantan dan betina dari setiap jenis hewan-hewan tersebut, yang disebut-Nya “bersih” dan hanya sepasang dari setiap jenis hewan-hewan tersebut yang disebut-Nya “tidak bersih”.
 Ini jelas bertentangan dengan teks di atas. Di samping itu, dalam Per-janjian Lama jangka waktu terjadinya banjir juga berbeda. Menurut versi Yahudi juga, peristiwa naiknya air terjadi selama empat puluh hari, se-dangkan berdasarkan orang-orang awam, dikatakan terjadi selama 150 hari.

Penyebutan Peristiwa Banjir dalam Kebudayaan Lain

Kebudayaan Sumeria: Dewa yang bernama Enlil memberi tahu orang-orang bahwa dewa-dewa yang lain ingin menghancurkan umat manusia, namun ia berkenan untuk meyelamatkan mereka. Pahlawan dalam kisah ini adalah Ziusudra, raja yang taat dari negeri Sippur. Dewa Enlil memberi tahu Ziusudra apa yang harus dilakukan agar selamat dari Banjir. Teks yang menceritakan pembuatan kapal tersebut hilang, namun fakta bahwa bagian ini pernah ada terungkap dalam bagian-bagian yang menyebutkan bagaimana Ziusudra diselamatkan. Begitupun berdasar-kan versi Babilonia tentang banjir, dapat disimpulkan bahwa dalam versi Sumeria yang lengkap tentulah terdapat rincian yang lebih menyeluruh tentang penyebab kejadian tersebut dan bagaimana perahu dibuat.
Kebudayaan Babilonia: Ut-Napishtim adalah padanan bangsa Babi-lonia terhadap Ziusudra, pahlawan Sumeria dalam peristiwa banjir. To-koh penting yang lain adalah Gilgamesh. Menurut legenda, Gilga-mesh memutuskan untuk mencari dan menemukan para leluhurnya untuk mendapatkan rahasia kehidupan abadi. Ia diperingatkan akan berbagai bahaya dan kesulitan dalam perjalanan itu. Ia diberi tahu bahwa ia harus melakukan perjalanan melewati “pegunungan Mashu dan perairan ma-ut”; dan perjalanan seperti itu hanya pernah diselesaikan oleh dewa ma-tahari Shamash. Namun Gilgamesh menghadapi semua bahaya perjalan-an dan akhirnya berhasil mencapai Ut-Napishtim.
Naskah ini terpotong pada bagian yang menceritakan pertemuan antara Gilgamesh dan Ut-Napishtim; dan selanjutnya ketika teks dapat terbaca, Ut-Napishtim menceritakan kepada Gilgamesh bahwa “para dewa menyimpan rahasia kematian dan kehidupan bagi diri mereka sendiri” (mereka tidak akan memberikannya kepada manusia). Atas jawaban ini, Gilgamesh bertanya bagaimana Ut-Napishtim dapat mem-peroleh keabadian; dan Ut-Napishtim menceritakan kepadanya kisah banjir sebagai jawaban atas pertanyaan ini. Banjir tersebut juga dicerita-kan dalam kisah “dua belas meja “ yang terkenal dalam epik tentang Gilgamesh.
Ut-Napishtim memulai dengan mengatakan bahwa kisah yang akan diceritakan kepada Gilgamesh merupakan “sesuatu yang rahasia, sebuah rahasia dari dewa-dewa”. Ia bercerita bahwa ia berasal dari kota Shurup-pak, kota tertua di antara kota-kota di daratan Akkad. Berdasarkan cerita-nya, dewa “Ea” telah memanggilnya melalui dinding kayu gubuknya dan menyatakan bahwa para dewa telah memutuskan untuk menghancurkan semua benih kehidupan dengan sebuah banjir; namun penyebab kepu-tusan mereka tidak diterangkan dalam cerita banjir Babilonia sebagai-mana halnya dalam kisah banjir Sumeria. Ut-Napishtim menceritakan bahwa Ea telah menyuruhnya membuat sebuah perahu dan ia harus membawa serta “benih-benih dari semua makhluk hidup”dengan perahu itu. Ea memberitahunya ukuran dan bentuk kapal itu; berdasarkan hal ini, lebar, panjang, dan tinggi kapal menjadi sama. Badai besar menjung-kirbalikkan segala sesuatu selama enam hari dan enam malam. Pada hari ketujuh, badai reda. Ut-Napishtim melihat bahwa di luar kapal, “semua telah berubah menjadi lumpur yang lengket”. Kapal tersebut terdampar di gunung Nisir.
Menurut catatan Sumeria-Babilonia, Xisuthros atau Khasisatra dise-lamatkan dari banjir oleh sebuah kapal yang panjangnya 925 meter, ber-sama keluarganya, teman-temannya, dan berbagai jenis burung dan bina-tang. Disebutkan bahwa “air meluap hingga ke langit, lautan menu-tupi pantai, dan sungai meluap dari tepiannya”. Dan kapal itu pun akhirnya terdampar di gunung Corydaean.
Menurut catatan Asiria-Babilonia, Ubar Tutu atau Khasisatra disela-matkan bersama keluarga, pembantu, ternaknya, dan binatang-binatang liar dalam sebuah kapal yang panjangnya 600 kubit, tinggi dan lebarnya 60 kubit. Banjir tersebut berlangsung selama 6 hari dan 6 malam. Ketika kapal tersebut mencapai gunung Nizar, merpati yang dilepaskan kem-bali, sedangkan burung gagak tidak kembali.
Berdasarkan beberapa catatan Sumeria, Asiria dan Babylonia, Ut-Napishtim beserta keluarganya selamat dari banjir yang terjadi selama 6 hari dan 6 malam. Dikatakan “Pada hari ketujuh Ut-napishtim melihat keluar. Semuanya sangat sepi. Manusia sekali lagi menjadi lumpur.” Ketika kapal terdampar di gunung Nizar, Ut-napishtim mengirim ma-sing-masing seekor burung merpati, burung gagak dan burung pipit. Burung gagak tinggal memakan bangkai, sedangkan dua burung yang lain tidak kembali.
Kebudayaan India: Dalam epik Shatapatha Brahmana dan Maha-bharata dari India, seseorang bernama Manu diselamatkan dari banjir bersama Rishiz. Menurut legenda, seekor ikan yang ditangkap oleh Manu dan dilepaskannya, tiba-tiba berubah menjadi besar dan menyuruhnya untuk membuat sebuah perahu dan mengikatkan ke tanduknya. Ikan ini dianggap penjelmaan dari dewa Wishnu. Ikan tersebut menarik kapal mengarungi ombak yang besar dan membawanya ke utara, ke gunung Hismavat.
Kebudayaan Wales: Menurut legenda Wales (dari Wales, wilayah Celtic di Inggris), Dwynwen dan Dwyfach selamat dari bencana besar dengan sebuah kapal. Ketika bah yang amat mengerikan yang terjadi akibat meluapnya Llynllion yang dinamai Danau Gelombang surut, mereka berdua memulai kembali kehidupan di daratan Inggris.
Kebudayaan Skandinavia: Legenda Nordic Edda mengisahkan tentang Bergalmir dan istrinya yang selamat dari banjir dengan sebuah kapal besar.
Kebudayaan Lithuania: Dalam legenda Lithuania, diceritakan bah-wa beberapa pasang manusia dan binatang diselamatkan dengan berlin-dung di puncak sebuah gunung yang tinggi. Ketika angin dan banjir yang berlangsung selama dua belas hari dan dua belas malam tersebut mulai mencapai ketinggian gunung yang hampir menenggelamkan mereka yang ada di sana, Sang Pencipta melemparkan sebuah kulit kacang raksasa kepada mereka. Mereka yang ada di gunung tersebut selamat dari bencana dengan berlayar bersama kulit kacang raksasa ini.
Kebudayaan Cina: Sumber-sumber bangsa Cina mengisahkan ten-tang seseorang yang bernama Yao bersama tujuh orang lain, atau Fa Li bersama istri dan anak-anaknya, selamat dari bencana banjir dan gempa bumi dalam sebuah perahu layar. Dikatakan bahwa “seluruh dunia han-cur. Air menyembur dan menenggelamkan semua tempat”. Akhirnya, air pun surut.
Banjir Nuh dalam Mitologi Yunani: Dewa Zeus memutuskan untuk memusnahkan manusia yang menjadi semakin sesat, dengan sebuah banjir. Hanya Deucalion dan istrinya Pyrrha yang selamat dari banjir, karena ayah Deucalion sebelumnya telah menyarankan anaknya untuk membuat sebuah kapal. Pasangan ini mendarat di gunung Parnassis sem-bilan hari setelah menaiki kapal.
Semua legenda ini mengindikasikan sebuah realitas sejarah yang konkret. Dalam sejarah, setiap masyarakat menerima risalah, setiap insan menerima wahyu suci, sehingga banyak kaum yang mengetahui peristi-wa Banjir Nuh. Sayangnya, begitu manusia berpaling dari esensi wahyu suci, catatan tentang peristiwa banjir besar pun mengalami banyak per-ubahan dan berubah menjadi legenda dan mitos.
Satu-satunya sumber bagi kita untuk menemukan kisah sejati tentang Nuh dan kaum yang menolaknya adalah Al Quran, yang merupakan sumber tunggal wahyu suci yang tidak mengalami perubahan.
Al Quran memberi kita keterangan yang benar, tidak hanya tentang banjir Nuh, namun juga tentang pelbagai kaum dan peristiwa sejarah lainnya. Pada bab-bab berikut kita akan meninjau kembali kisah-kisah sejati ini.

(sumber : www.harunyahya.com )

0 komentar:

Posting Komentar